Kamis, 04 Juni 2015

TEKNIK PEMIJAHAN IKAN PATIN SIAM (PANGASIUS HYPOPTHALMUS) DI BBIS ANJONGAN 2014



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai pulau. Propinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas yang terdiri dari perairan laut dan perairan tawar. Banyak jenis biota yang hidup di wilayah perairan Kalimantan Barat, salah satunya ialah ikan patin (pangasius hypophthalmus).
1
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan penghuni sungai. Pada awalnya, ikan patin dibiarkan hidup bebas disungai. Ikan ini tersebar diwilayah Sumatera dan Kalimantan. Sungai-sungai yang termasuk habitat ikan patin antara lain sungai musi, sungai mahakam, sungai kapuas, dan sungai-sungai lain yang terdapat di Sumatra dan Kalimantan. Ikan patin merupakan ikan yang istimewa, karena ikan  patin dapat juga digunakan sebagai ikan hias pada saat larva berukuran 5–12 cm. ikan patin merupakan jenis ikan air tawar yang dapat tumbuh besar dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Bila dilihat dari segi produksi ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat karena merupakan salah satu ikan yang rakus terhadap makanan (Khairuman dan Sudenda, 2002). Bila ditinjau dari segi rasa, ikan ini memiliki rasa yang khas, rendah kalori serta dagingnya kenyal dan empuk. Rasa khas ikan patin merupakan daya tarik tersendiri bagi penggemarnya. Kandungan kalori ikan patin hanya sekitar 120 kalori  setiap 3,5 ons, sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga kesehatan (Hernomo, 2001).
Sejauh ini pengembangan pembudidayaan khususnya di Kalimantan Barat  dalam hal produksi benih ikan patin masih sangat kurang. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana membenihkan ikan patin, serta kurangnya informasi tentang pembenihan ikan patin. Menurut (Hernomo 2001), pada tahun 2001 benih ikan patin yang berukuran panjang 2,5 cm dapat terjual dengan harga Rp. 125,-per ekor untuk kegiatan pembesaran. Sedangkan untuk ikan hias dapat terjual dengan harga Rp. 500,- hingga Rp. 1000.-per ekor. Adapun harga ikan ukuran konsumsi dapat mencapai puluhan ribu rupiah per kilogramnya.
Berdasarkan hal di atas, maka perlu adanya peningkatan produksi benih ikan patin misalnya melalui pengembangan hatchery. Selain itu hal lain yang bisa  dilakukan adalah pengembangan teknik-teknik pembenihan yang benar dan tepatguna hingga mudah diaplikasikan ke masyarakat luas, khususnya pada masyarakat Kalimantan Barat. Untuk mencapai hal tersebut maka penting sekali untuk mengenal dan mempelajari teknik pembenihan yang baik dan benar, sehingga dapat menunjang pengembangan usaha pembudidayaan ikan patin di Kalimantan Barat.

1.2. Perumusan Masalah
Adapun  perumusan masalah dalam Tugas Akhir ini sebagai berikut :
1.     
2
Bagaimana cara pembenihan ikan patin (pangasius hypophthalmus) yang baik di BBIS Anjongan.
2.      Bagaimana cara menghitung fekunditas telur, daya tetas telur, jumlah telur yang terbuahi, dan tingkat kelangsungan hidup larva.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan Tugas Akhir (TA) ini adalah untuk:
1.     Mengetahui teknik pembenihan ikan patin (pangasius hypophthalmus) yang dilaksanakan di BBIS Anjongan.
2.    Mengetahui cara menghitung fekunditas telur, daya tetas telur, jumlah telur yang terbuahi, dan tingkat kelangsungan hidup larva.
1.4. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dalam penulisan Tugas Akhir (TA) ini adalah sebagai berikut :
1.      Dapat menambah ilmu pengetahuan penulis tentang cara pembenihan ikan secara kawin suntik (induced bredding).
2.      Dapat menambah keterampilan penulis dalam beradaptasi dengan lingkungan praktik.
3.      Untuk menambah referensi bagi BBIS Anjongan dan mahasiswa.





3
 
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Ikan Patin
2.1.1Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Hernomo (2001), klasifikasi ikan patin sebagai berikut:
Filum: Chordata
Kelas: Pisces
Sub-kelas   : Pisces
Ordo : Ostariophiya
Sub-ordo: Siluroidea
Famili : Pangasidea
Genus: Pangasius
Spesies: Pangasius hypoptalamus
Menurut Khairuman dan Sudenda (2002) Ikan patin dewasa panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm. Bentuk tubuhnya memanjang dengan warna dominan putih berkilauan. Ikan ini tidak bersisik atau bertubuh licin, kepala relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala bagian bawah. Pada bagian sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis  yang berfungsi sebagai alat peraba pada saat berenang atau mencari makanan.
5

Gambar 1. ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus)
Sirip punggungnya mempunyai 1 jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergerigi di belakangnya, sedangkan jari-jari lunak pada sirip ini 6–7 buah. Pada permukaan punggung terdapat sirip lemak yang ukurannya sangat kecil. Sirip dubur sangat panjang dan mempunyai 30–33 jari-jari lunak. Sirip perut terdapat 6 jari-jari lunak. Sedangkan sirip dada terdapat 1 jari-jari keras yang berubah menjadi patil dan 12–13 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dan bentuknya semertris. (Ghufran, 2005).
Menurut Hernomo (2001), ikan patin mempunyai bentuk tubuh yang panjang. Mulutnya berada agak di sebelah bawah (sub-terminal) dengan dua pasang kumis. Sirip ekor yang bentuknya seperti gunting. Ikan ini juga mempunyai sirip dada dan sirip punggung. Warna tubuhnya kelabu kehitaman, sedangkan warna mulut dan sekitarnya putih. Kepalanya lebar dan pipih, hampir mirip seperti ikan lele. Ikan ini sering juga disebut ikan jambal.

2.1.2. Habitat dan Penyebaran
            Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), ikan patin di alam bebas biasanya selalu bersembunyi di liang-liang di tepi sungai atau kali. Ikan ini baru keluar dari persembunyiannya pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang nocturnal. Di daerah aslinya, ikan ini lebih banyak menetap di dasar perairan ketimbang di permukaan, sehingga digolongkan sebagai ikan dasar (demersal). Hal ini dibuktikan dari bentuk mulutnya yang lebar, sebagai mana mulut ikan-ikan demersal lainnya.
6
Menurut Hernomo (2001), daerah penyebaran ikan patin meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos dan Indonesia. Selanjutnya Djarijah (2001), menyatakan bahwa, pada mulanya ikan patin dibiarkan hidup liar di sungai-sungai besar yang bermuara ke laut. Ikan patin merupakan jenis ikan air tawar asli Indonesia yang tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ikan ini hidup dan berkembang di sungai dan kawasan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Musi, Mahakam, Barito, Kapuas dan lain-lain.

2.1.3. Makan dan Kebiasaan Makan
            Secara alam makanan ikan patin berupa ikan-ikan kecil, cacing, detritus, serangga, udang-udangan, molusca dan biji-bijian. Berdasarkan makanan ikan patin digolongkan ke dalam ikan omnivore (Khairuman dan Sudenda, 2002).
            Menurut Ghufran (2005), dalam pembudidayaan, pemeliharaan di sangkar di sungai musi, patin diberikan pellet dengan kadar 20–25% sebanyak 5% dari berat tubuh ikan tiap harinya. Sedangkan untuk calon induk diberikan pakan dengan kadar protein 35% dan tambahan ikan rucah dua kali seminggu sebanyak 20% dari total berat badan. 


7
2.1.4. Reproduksi
            Menurut Hernomo (2001), ikan patin mulai matang kelamin pada umur 2–3 tahun. Ikan patin dapat pijahkan pada musim penghujan. Jumlah telur yang dihasilkan berbeda, tergantung pada kondisi dan ukuran induk. Induk patin berukuran 5–6 kg dapat menghasilkan telur sekitar 1,5 juta butir. Larva ikan patin dapat hidup di air yang bersalinitas 0,05 ppt, menjelang dewasa akan mencari perairan tawar sampai jauh ke sungai-sungai pedalaman.

2.1.5. Sumber Air
            Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), air merupakan faktor mutlak dalam kegiatan budidaya patin. Keberhasilan budidaya sangat ditentukan oleh air karena air adalah media hidup ikan patin yang paling utama. Sumber air dapat berasal dari saluran irigasi teknis (buatan), sungai, atau sumber air lainnya. Meskipun ikan patin tidak membutuhkan sumber air yang senantiasa mengalir sepanjang waktu, untuk unit pembenihan (hatcbery) satu hal yang harus terpenuhi adalah kondisi airnya harus bersih. Untuk itu, jika sulit untuk mendapatkan sumber air irigasi yang baik, sumber airnya dapat diusahakan melalui sumur biasa (sumur pompa).

2.1.6. Kualitas Air
            Kualitas air penting untuk diperhatikan dalam budidaya patin. Air yang kurang baik dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit. Ada beberapa variabel penting yang berhubungan dengan kualitas air. variabel-variabel tersebut adalah yang berhubungan dengan sifat kimia air (kandungan oksigen, pH dan suhu). Selain mempunyai sifat kimia seperti di atas, air juga mempunyai sifat-sifat fisika diantaranya berhubungan dengan suhu (Khairuman dan Sudenda, 2002).
8
a. Kandungan Oksigen
            Ikan patin mengisap oksigen yang terlarut di dalam air yang dapat berasal dari hasil proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari, atau berasal dari udara luar melalui proses difusi di permukaan air.
Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan yang cukup tahan dengan kekurangan oksigen di dalam air, hampir sama halnya dengan ikan lele. Apabila kandungan oksigen di dalam air kurang, ikan patin akan mengambil langsung oksigen di udara bebas. Bahkan ikan patin akan bertahan hidup selama beberapa saat di darat. Pada usaha intensif, kandungan oksigen yang baik minimal 4 mg/liter air. Alat yang digunakan untuk mengukur kandungan oksigen yang terlarut di dalam air adalah water quality test kit atau pengukuran kualitas air (Khairuman dan Sudenda, 2002).
b. Derajat Keasaman (pH)
Sebagian besar ikan dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan yang mempunyai derajat keasaman (pH) berkisar antara 5–9. Pada kolam budidaya, fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas karbondioksida yang dihasilkanya. Pada kolam yang banyak dijumpai alga atau tumbuhan lainnya. pH air pada pagi hari biasannya mencapai angka kurang dari 6,5 sedangkan sore hari dapat mencapai 8–9. Pada kolam dengan sistem resirkulasi, air cenderung menjadi asam karena proses nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion hidrogen (Kanisius, 1992).
9
c. Suhu
      Suhu air yang cocok untuk pembenihan ikan adalah berkisar antara 25oC – 30oC (Sutisna dan Sutarmanto, 1995). Sedangkan suhu yang ideal pada saat penetasan telur berkisar antara 27°C - 30°C, suhu di kolam pendederan yang ideal berkisar antara 27°C - 30°C (BSN, 2000).

2.2. Teknik Pembenihan Ikan Patin
2.2.1. Pemeliharaan Induk
            Menurut Khairuman (2002), induk merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan patin. Induk yang baik dan sehat tentu  akan menghasilkan benih yang baik pula. Induk patin yang akan dipijahkan berasal dari alam atau induk-induk yang telah dipelihara sejak kecil di kolam. Induk-induk yang berasal dari alam tingkah lakunya masih liar dan kadang-kadang memiliki banyak luka akibat meronta-ronta saat penangkapannya. Karenanya, induk yang baik dipijahkan adalah induk yang telah dipelihara di kolam atau wadah lainnya, seperti keramba dan jaring.

2.2.2. Seleksi Induk Siap Pijah
            Induk ikan yang dipelihara secara khusus tidak semuanya siap dipijahkan. Hasil pemeliharaan pematangan induk masih perlu diseleksi untuk memilih induk-induk  yang siap dipijahkan. Khairuman dan Sudenda (2002), menyatakan bahwa seleksi induk bertujuan untuk memilih induk yang baik dan sehat. Untuk memilih induk yang baik, induk tersebut harus ditangkap dulu dan diseleksi. Hernomo (2001), mengatakan bahwa dalam pemilihan induk dilakukan dengan cara visual. Langkah-langkah pemilihan induk menurut Hernomo (2001) ialah :
a.      
10
Induk ikan patin ditangkap pada bagian  pangkal ekor, kemudian diangkat dari dalam air
b.      Badan ikan dibalik hingga posisinya terlentang
c.       Perhatikan bagian  perutnya, perut yang buncit (besar) kearah dubur merupakan salah satu ciri yang telah matang gonad
d.      Warna kulit didaerah genitalnya kemerah-merahan
e.       Yang terakhir rabalah bagian bagian perutnya, apabila lembek itu juga salah satu ciri telur yang sudah matang gonad
Menurut Khairuman dan Sudenda, (2002) adapun ciri-ciri induk patin yang telah matang gonad sebagai berikut :
1.    Induk betina
-          Umur kurang lebih 3 tahun.
-          Berat minimal 1,5–2 kg per ekor.
-          Perut membesar ke arah anus.
-          Perut terasa empuk dan halus saat diraba.
-          Kelamin membengkak dan berwarna merah tua .
-          Kulit dibagian perut lembek dan tipis.
-          Keluar beberapa butir telur terbentuk bundar dan berukuran seragam jika bagian di sekitar kelamin ditekan.
2.   
11
Induk jantan
-          Umur minimal 2 tahun.
-          Berat 1,5–2 kg per ekor.
-          Kulit perut lembek dan tipis.
-          Alat kelamin membengkak dan berwarna merah tua.
-          Keluar cairan sperma berwarna putih jika perut diurut kearah anus

2.2.3. Teknik Pemijahan
            Menurut Hernomo (2001), penyuntikan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan kelenjar hipofisa atau dengan hormon buatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada tahap penyuntikan yaitu pemilihan hormon dan dosis yang tepat bagi induk; waktu, letak, dan frekuensi penyuntikan serta penanganan induk (handling).
            Ikan patin yang sudah disuntik itu dilepaskan di kolam pembenihan untuk menunggu proses ovulasi terjadi antara induk jantan dan induk betina. Pemijahan dengan suntikan ini masih harus dibantu lagi dengan langkah berikutnya yaitu dengan pengurutan (stripping). Cara maupun waktu pengurutan harus mengikuti prosedur yang disarankan, yaitu perut diurut pelan-pelan dari bagian depan (dada) ke arah belakang dengan menggunakan jari tengah dan jempol.
a. Hormon dan Dosis Hormon
            Hormon yang dapat digunakan untuk merangsang ovulasi bermacam-macam, terutama yang diperjual belikan, misalnya ovaprim, provasi, dan LHRH. Selain hormon komersil, dapat juga menggunakan kelenjar hipofisa untuk penyuntikan.
12
            Hormon yang lazim digunakan untuk pemijahan ikan patin adalah ovaprim, karena praktis dalam penggunaanya. Hernomo (2001), mengatakan untuk penggunaan ovaprim, dosis yang digunakan 0,6 ml/kg untuk induk betina. Dosis tersebut digunakan dalam dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama dengan dosis 1/3 bagian sedangkan 2/3 sisanya diberikan pada penyuntikan kedua. Sedangkan untuk induk jantan dosis penggunaan ovaprim adalah 0,2 ml/ekor induk jantan. Sedangkan cara penyuntikan hormon adalah ekstrak kelenjar hipofisa disedot dengan alat suntik selanjutnya disuntikkan keinduk betina. Penyuntikan secara intramuscular  dibagian belakang sirip punggung. Penyuntikan pertama biasanya di sisi kiri, sedangkan penyuntikan kedua di sisi kanan sirip punggung.
b. Penyuntikan
            Menurut Hernomo (2001), waktu penyuntikan hormon atau kelenjar hipofisa dapat diatur sesuai dengan keinginan. Maksudnya, kita dapat mengatur kapan melakukan penyuntikan pertama dan kedua disesuaikan dengan rencana akan melakukan pengeluaran telur. Secara kronologis dapat diatur bahwa selang waktu penyuntikan pertama dan kedua adalah 12 jam, selang waktu ovulasi biasanya 12 jam dari penyuntikan kedua. Jadi, ovulasi biasanya akan diperoleh sekitar 24 jam dari penyuntikan pertama. Dengan demikian, kita dapat mengatur kapan mau mendapatkan telur dan kapan penyutikan harus dilakukan.
13
            Penyuntikan dilakukan dengan dua pertimbangan. Pertama, tepat target artinya hormon yang disuntikkan dapat masuk ke target. Pertimbangan kedua, meminimalkan risiko negatif akibat penyuntikan, yaitu luka atau sakit yang dapat menyebabkan stress atau keadaan yang lebih parah lagi. Tempat penyuntikan yang dianjurkan adalah pada ketiak sirip punggung.
c. Striping dan Pembuahan
            Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), Ovulasi adalah puncak kematangan gonad. Saat ovulasi, telur yang telah matang harus dikeluarkan dengan cara memijit bagian perut (stripping) patin betina.
            Menurut Hernomo (2001), sejak 10 jam dari penyuntikan kedua, induk betina harus mulai diperiksa apakah sudah terjadi ovulasi atau belum. Untuk dapat melakukan pemeriksaan, induk ditangkap dengan hati-hati. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati perut induk betina diurut kearah anus. Pengurutan harus dihentikan ketika sudah terlihat adanya telur yang keluar. Dengan segera induk dipindahkan ketempat yang nyaman untuk dilakukan penggeluaran telur (stripping).
Sebelum dilakukan pengeluaran telur perlu disiapkan wadah penampung telur (baskom) dan kain pembungkus (handuk). Pengeluaran telur sebaiknya dilakukan oleh dua orang, apalagi bagi pemula. Orang pertama bagi pengurutan dengan tangan kirinya memegang pangkal ekor induk ikan patin. Orang kedua mengamankan atau memegang wadah, pengurutan harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh perasaan agar ikan tidak menggalami stress, apalagi luka. Setelah pengeluaran telur selesai, telur harus disimpan dengan baik, jangan sampai jatuh atau tidak aman.
14
            Sebelum dilakukan pengambilan sperma, perlu disiapkan wadah penampung sperma (baskom), larutan NaCL, bulu ayam, dan kain pembungkus (handuk). Pengambilan sperma dapat  dilakukan dengan cara, induk jantan ditangkap, kemudian di lap sampai tidak ada lagi air yang menetes. Kemudian, sperma dikeluarkan dengan cara perut diurut kearah anus. Apabila keluar sperma maka hendaknya ditampung di wadah atau baskom. Kemudian, langsung dicampur dengan larutan NaCL secukupnya. Fungsi dicampurnya sperma dengan larutan NaCL adalah untuk memperpanjang umur sperma sekaligus mengencerkan dan mengurangi daya rekat pada telur.

2.2.4. Wadah Penetasan Telur
            Menurut Khairuman dan Sudenda  (2002), Wadah penetasan telur berupa corong-corong penentasan. Untuk menjamin keberhasilan penetasan, wadah penetasan dipersiapkan satu hari sebelum pemijahan.
            Menurut Hernomo (2001), Langkah-langkah persiapan wadah penetasan telur sebagai berikut :
-        Wadah harus benar-benar bersih atau steril.
-        Media airnya juga harus baik. Sebaiknya air yang digunakan telah disiapkan (didiamkan) satu hari.
-        Wadah penetasan tersebut harus benar-benar terjamin keamanannya. Baik keamanan berupa kehilangan gangguan yang bersifat teknis, misalnya terkena air hujan sehingga mempengaruhi DO (kandungan oksigen terlarutnya), pH, serta temperaturnya. Dengan kata lain, dianjurkan wadah penetasan diletakkan di dalam ruangan yang tertutup.
-       
15
Untuk mendapatkan oksigen yang cukup, perlu dipasang instalasi aerasi di dalam media penetasan telur.
-        Untuk menjaga temperatur yang ideal (29–30oC) serta stabil, dapat dengan cara mamasang alat pemanas air otomatis, mengurangi ventilasi udara ruangan penetasan, atau meningkatkan suhu ruangan dengan menggunakan tungku api dan atau listrik.
-        Telur patin yang terbuahi akan menetas dalam jangka waktu 28 jam pada suhu 26–28°c (Khairuman dan Sudenda, 2002)

2.2.5. Perawatan Larva
            Kegiatan selanjutnya adalah perawatan larva. Larva ikan patin, seperti larva ikan pada umumnya telah memiliki cadangan makanan sebagai sumber energi sebelum alat pencernaan terbentuk sempurna. Ketika baru menetas sampai dengan alat pencernaannya belum terbentuk, larva ikan  patin tidak perlu diberi makan karena masih memiliki cadangan makanan. Makanan cadangan tersebut berupa kuning telur, namun begitu kuning telur hampir habis, biasanya alat pencernaannya telah terbentuk dan siap digunakan untuk mengkonsumsi makanan dari luar, khususnya makanan alami.
            Pada kondisi kandungan oksigen terlarut yang cukup temperatur air berkisar 29°C. Kuning telur biasanya akan habis pada hari ketiga atau keempat. Sejak hari keempat itulah pakan harus sudah diberikan, biasanya pakan yang diberikan adalah pakan alami, berupa naupli artemia, (Hernomo, 2001).
16
 
2.2.6. Pendederan
            Menurut Santoso (1993), pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih sampai ukuran tertentu. Biasanya luas kolam yang digunakan antara 200–500 m2. Benih lepas hapa (umur 5–7 hari) dalam pemeliharaan atau wadah penetasan yang relatif sempit itu pasti tidak akan menampung bagi pertumbuhan larva dalam waktu lama. Oleh karena itu mereka harus segera dipindahkan ke areal lebih luas lagi yakni ke kolam pendederan.
Setelah 5 hari atau paling lambat seminggu semenjak telur menetas, benih ikan ini harus dipindahkan ke kolam pendederan. Pemindahan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Sebelum memindahkan benih, air di aquarium harus dikurangi terlebih dahulu agar memudahkan saat pemanenan larva. Kemudian, setelah air dikurangi barulah dilakukan pemanenan larva dengan mengambil larva-larva tersebut dengan serokan dan ditampung ke dalam wadah berupa baskom atau ember. Untuk memindahkannya, dapat menggunakan ember plastik atau baskom yang permukannya lebar. Pemindahan ini harus dilakukan pada saat suhu air masih rendah, yaitu pagi hari atau sore hari. Pemasukan benih dengan cara memasukkan ember plastik atau baskom tersebut ke dalam air kolam, lalu secara perlahan gulingkan agar airnya bercampur dengan benih dan benihnya akan keluar dengan sendirinya (Susanto, 2006).

17
2.2.7. Pemanenan
Menurut Sutisna dan Sutarmanto (1995), pemanenan benih tergantung dari ukuran benih yang dikehendaki dan lama pemeliharaan. Pemanenan benih pada prinsipnya ada dua cara yaitu secara selektif biasanya dilakukan dengan tanpa melakukan pengeringan kolam. Alat tersebut diberi makanan tambahan supaya benih ikan yang akan ditangkap masuk ke dalamnya. Setelah beberapa waktu lamanya perangkap diangkat dan benih yang terjaring dipungut sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
Panen secara total adalah pemanenan benih yang dilakukan secara sekaligus dengan mengeringkan kolam. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum matahari terbit, agar pada saat suhu udara mulai meningkat atau sekitar pukul 07.00, panen sudah selesai. Hal tersebut dilakukan agar benih yang dipanen masih pada temperatur udara pagi hari, sehingga mortalitas dalam pemanenan relatif kecil.

2.2.8. Hama dan Penyakit
1. Penyakit
            Menurut Kanisius (1992), Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan terhadap ikan dapat disebabkan oleh organisme  lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang kehidupan ikan. Dengan demikian timbulnya serangan penyakit ikan dikolam merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini bisa menyebabkan stress pada ikan. Sehingga mekanisme pertahanan diri yang  dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit.
18
 
2. Hama
            Menurut  Khairuman dan Sudenda (2002), serangan hama biasanya tidaklah separah serangan penyakit ikan. Hama biasanya berukuran lebih besar daripada ikan dan bersifat memangsa. Pada usaha budidaya ikan patin, kemungkinan terjadinya serangan hama lebih banyak dialami pada usaha pendederan atau pembesaran sebab kedua usaha tersebut dilakukan di alam terbuka, seperti dijaring, kolam, atau keramba, sedangkan usaha pembenihan dilakukan di ruang tertutup.
Jenis-jenis hama yang dapat menyerang ikan patin adalah biawak, ular air, kura-kura, dan burung. Cara pemberantasan yang paling efektif adalah secara mekanis atau membunuhnya langsung jika hama tersebut ditemukan di lokasi budidaya. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasang perangkap, terutama bagi hama-hama tertentu atau dengan memasang umpan yang telah diberi racun. Pencegahan yang paling aman adalah dengan membersihkan areal kolam dari rumput atau semak yang menjadi sarang hama atau dengan melokalisir seluruh areal kolam dengan pagar tembok atau beton sehingga hama tidak dapat masuk ke lokasi budidaya ikan patin


BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat
Waktu penulisan Tugas Akhir berlangsung selama 3 bulan, dimulai dari tanggal 24 Februari s/d 24 Mei 2014. Kegiatan berlokasi di Balai Budidaya Ikan Sentral (BBIS) Anjongan, Propinsi Kalimantan Barat.

3.2. Gambaran Umum Perusahaan
3.2.1. Sejarah BBIS Anjongan
BBIS Anjongan sudah berdiri sejak 1952. Pada awalnya BBIS Anjongan dikenal dengan nama Balai Benih Ikan (BBI) Anjongan. Pada saat itu kolam yang dimiliki sebanyak 26 petak dengan luas 0,8 Ha, secara bertahap setiap tahun diadakan perbaikan kolam dan pembenihan guna menyempurnakan teknik budidaya khususnya terhadap komoditas ikan air tawar. Pada tahun1986 – 1987 telah diadakan perluasan lahan sehingga luas keseluruhan mencapai 1,2 Ha dan sampai saat ini luas lahan kolam 7,4 Ha.
19
BBIS Anjongan didirikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Tingkat II Kabupaten Pontianak. Perubahan nama diawali dengan adanya pemisahan antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan DInas Pertanian pada tahun 2002 dengan nama Unit Pembenihan Ikan Sentral (UPIS). Kemudian pada tahun 2012, berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Barat No. 20 Tahun 2012 terjadi perubahan nama dari Unit Pembenihan Ikan Sentral (UPIS) menjadi Balai Budidaya Ikan Sentral (BBIS). Perubahan nama dikarenakan untuk melaksanakan urusan propinsi di bidang pengembangan perekayasaan teknik pembudidayaan ikan air tawar, air payau dan laut yang berkelanjutan melalui pengembangan dan aplikasi teknologi budidaya. Oleh karena itu dibuatlah peraturan Gubernur No. 38 Tahun 2009 tentang pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja UPIS Propinsi Kalimantan Barat sudah tidak sesuai lagi dan perlu dilakukan pergantian.
Berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2012 pasal 2 BBIS dijadikan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kelautan dan Perikanan yang terdiri dari dua seksi diantaranya :
a.       Seksi budidaya ikan air tawar pada BBIS berkedudukan di Desa Pak Bulu, Kecamatan Anjongan, Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat.
b.      Seksi budidaya ikan air payau dan laut pada BBIS berkedudukan di Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Propinsi Kalimantan Barat.
BBIS Propinsi Kalimantan Barat merupakan UPTD Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat yang berkedudukan di Desa Pak Bulu, Kecamatan Anjongan, Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Kepemimpinan BBIS Anjongan dari tahun 1952 hingga saat ini mengalami 10 kali pergantian. Pada saat ini BBIS Anjongan di pimpin oleh Bapak Donatus, S.Pi.

20
 
Visi dan Misi dari BBIS Anjongan adalah :
1.      Visi
“Terwujudnya pembangunan kelautan dan perikanan melalui pengembangan usaha budidaya yang berkelanjutan melalui perekayasaan teknis pembudidayaan ikan, pengujian mutu benih dan sertifikasi mutu benih ikan”.
2.      Misi
a.       Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai.
b.      Terwujudnya kemampuan SDM pengelola sarana dan prasarana pembenihan ikan yang baik.
c.       Penataan manajemen operasional prasarana pembenihan ikan yang baik.
d.      Meningkatkan pelayanan kepada pengguna jasa secara tertib dan aman, serta dapat menumbuhkan lapangan kerja baru.

3.2.2.  Struktur Organisasi BBIS Anjongan
BBIS Propinsi Kalimantan Barat mempunyai tugas melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dinas dibidang pengembangan dan penerapan teknis budidaya ikan air tawar, air payau dan laut, dan pengujian mutu benih dan sertifikasi dalam rangka mutu benih ikan air tawar, air payau dan laut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21
Masing-masing bagian dari struktur organisasi BBIS memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda diantaranya :
1.      Kepala balai mempunyai tugas memimpin, membina, mengkoordinasikan, meyelenggarakan, mengendalikan kegiatan BBIS berdasarkan kebijakan teknis Dinas dan Peraturan perundang-undangan.
2.      Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana kerja, monitoring, evaluasi, administrasi kepegawaian dan umum serta pengelolaan keuangan dan asset.
3.      Kelompok jabatan fungsional terdiri dari sejumlah PNS dalam jenjang  fungsional berdasarkan bidang keahlian dan keterampilan tertentu.
4.      Seksi budidaya ikan air tawar mempunyai tugas dalam pengembangan budidaya ikan air tawar, penerapan teknologi budidaya ikan air tawar, pegujian laboratorium secara mikrobiologis, organeloptik kimia dan fisika terhadap kualitas air dan benih ikan air tawar dan laut dalam rangka realisasi sertifikat mutu benih unggul, induk unggul dan pakan ikan air tawar.
5.      Seksi budidaya ikan air payau dan laut mempunyai tugas dalam pengembangan budidaya ikan air payau dan laut, penerapan teknologi budidaya ikanair payau dan laut, pengujian laboratorium secara mikrobiologis, organoleptik kimia dan fisika terhadap kualitas air dan benih unggul ikan air payau dan laut dalam rangka realisasi sertifikat mutu benih unggul, induk unggul dan pakan ikan air payau dan laut.


22
 
Struktur Organisasi Balai Budidaya Ikan Sentral (BBIS) Anjongan
Berdasarkan SK Gubernur No. 20 Tahun 2012
Kepala Balai

 



 
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Budidaya Ikan Air Tawar

Seksi Budidaya Ikan Air Payau dan Laut

Sub Bagian Tata Usaha

 





Gambar 2. Struktur Organisasi BBIS Anjongan

3.2.3. Deskripsi Singkat Departemen Praktik Industri
3.2.3.1. Letak Administratif
Lokasi BBIS Anjongan terletak di Desa Pak Bulu, Kecamatan Anjongan, Kabupaten Pontianak. Lokasi lahan BBIS memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir dan topografi datar agak miring dengan ketinggian ± 20 m dpl.
         Sedangkan batas-batas lokasi BBIS Anjongan adalah sebagai berikut :
1.      Sebelah utara berbatasan dengan Gunung Loncet,
2.      Sebelah timur berbatasan dengan Kampung Pasir,
3.      Sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman penduduk setempat, dan
4.      Sebelah barat berbatasan dengan gudang peluru milik TNI AD.
23
Suplai air sangat tergantung akan debit air yang berasal dari Gunung Loncet yang sangat bergantung akan fluktuasi musim yang terjadi. Musim penghujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober dengan curah hujan rata-rata tiap tahun 2300 mm/tahun. Suhu udara maksimum rata-rata tiap tahunnya sebesar 32,30C dan suhu rata-rata minimumnya sebesar 21,80C dengan lama penyinaran matahari 59,50C/tahun.
BBIS Anjongan dilengkapi dengan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan dalam mendukung semua kegiatan BBIS baik sarana pokok maupun sarana penunjang. Sarana dan prasarana yang terdapat di BBIS Anjongan adalah sebagai berikut :
1.      Gedung perkantoran 1 unit dengan luas 60 m2.
2.      Rumah dinas pegawai sebanyak 3 unit  (tipe 45, 36, 21) dan rumah penjaga malam dengan luas 6 m2.
3.      Mess 1 unit dengan luas 120 m2.
4.      Asrama 1 unit dengan luas 120 m2.
5.      Ruang kelas tertutup 1 unit dengan luas 100 m2 sebagai tempat belajar.
6.      Ruang kelas terbuka 1 unit dengan luas 100 m2 sebagai tempat pertemuan.
7.      Ruang pemijahan/hatchery 2 unit dengan luas 280 m2.
8.      Ruang pengemasan/packing 1 unit dengan luas 36 m2.
9.      Ruang sarana produksi 2 kamar dengan luas 100 m2.
10.  Ruang laboratorium 3 ruang dengan luas 120 m2.
11.  Ruang genset 1 unit dengan  luas 6 m2.
12. 
24
Kolam pendederan sebanyak 2 unit dengan luas 32.050 m2.
13.  Kolam induk sebanyak 8 unit dengan luas 18 m2.
14.  Keramba apung 5 unit dengan luas 30 m2.

3.2.3.2.Personil Pendukung Proses
BBIS Anjongan memiliki tenaga kerja beragam berdasarkan tingkat pendidikan, mulai dari SLTA sampai tingkat strata 1 (S1). Tenaga kerja tersebut bekerja sesuai dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki. Tenaga kerja melaksanakan tugasnya selalu saling keterkaitan. Tingkat pendidikan pegawai diBBIS lebih dominan diduduki oleh lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu sebanyak 60 %, sedangkan untuk strata 1 (S1) berjumlah 8 orang.
3.3.  Pembenihan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm. Pada perairan yang tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendah sekalipun sudah memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini.
25
Ikan patin siam berbadan panjang untuk ukuran ikan tawar lokal, warna putih seperti perak, punggung berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas golongan catfish). Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pembenihna ikan patin siam adalah dimulai dari pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan (induced breeding), stripping, penetasan telur, perawatan larva, pendederan, panen benih.

1. Pemeliharaan Induk
Dalam kegiatan pembenihan ikan, pemeliharaan induk merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih yang dihasilkan. Pada kegiatan ini, ada beberapa hal yang harus di perhatikan yang meliputi:
a.       Wadah dan media pemeliharaan
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan induk dapat berupa kolam tanah atau bak beton. Bak pemeliharaan dilengkapi dengan waring yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran bak. Penggunaan waring ini bertujuan untuk memudahkan saat melakukan seleksi induk.
Pada bak pemeliharaan induk, ketinggian air berkisar antara 1,2 - 1,5 m dengan kepadatan 2 - 3 ekor/m2. Pada bak ini juga terdapat saluran pembuangan dan pemasukan air agar memudahkan dalam pengelolaan media pemeliharaan.
b.      Pakan induk
26
Pakan induk dapat menggunakan pakan komersil dengan kandungan protein antara 28 - 32%. Kandungan pakan ini sangat berpengaruh terhadap kualitas telur yang dihasilkan. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 2% dari biomass (Hamid, dkk, 2007).
Induk patin yang ada di BBIS Anjongan berjumlah 105 ekor yaitu 65 ekor induk jantan dan 40 ekor induk betina, dengan berat rata-rata 2,5 kg/ekor. Dosis pakan yang diberikan sebanyak 2% dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari.
Gambar 3. Pakan Induk
2. Seleksi Induk
Seleksi induk adalah kegiatan yang dilakukan untuk memilih induk yang siap untuk dipijahkan. Sebelum melakukan seleksi, induk terlebih dahulu diberok selama 1 hari dengan tujuan agar memudahkan dalam seleksi yaitu induk yang membesar perutnya adalah benar-benar induk yang matang gonad bukan karena pakan (Kordi, 2005). Induk yang diseleksi adalah induk yg telah berumur lebih dari 3 tahun dengan berat 1,5 - 2 kg untuk induk jantan dan 1,5 - 2 kg untuk induk betina. Namun apabila ada indukyang beratnya tidak sesuai dengan standar untuk pemijahan, tetapi induk tersebut sudah matang gonad maka induk tersebut dapat dipijahkan. Ciri-ciri induk patin yang sudah matang gonad dan siap dipijahkan adalah sebagai berikut :

27
 
a. Induk betina
-          Umur tiga tahun.
-          Berat 1,5–2 kg.
-          Perut membesar ke arah anus.
-          Perut terasa empuk dan halus bila di raba.
-          Kelamin membengkak dan berwarna merah tua.
-          Kulit pada bagian perut lembek dan tipis.
-          Kalau disekitar kelamin ditekan akan keluar beberapa butir telur yang bentuknya bundar dan besarnya seragam.
b. Induk jantan
-          Umur dua tahun.
-          Berat 1,5–2 kg.
-          Kulit perut lembek dan tipis.
-          Bila diurut akan keluar cairan sperma berwarna putih.
-          Kelamin membengkak dan berwarna merah tua.

4.   Pemijahan
a.       Penyuntikan
28
Pemijahan pada ikan patin dilakukan secara buatan dengan menggunakan hormon stimulan yang berfungsi untuk menstimulasi kematangan gonad yaitu melalui pemberian ovaprim. Dosis yang biasa digunakan antara 0,6 cc/kg untuk induk betina, (Kordi, 2005). Dosis tersebut digunakan dalam dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama dengan dosis 1/3 bagian sedangkan 2/3 sisanya diberikan pada penyuntikan kedua. Sedangkan untuk induk jantan dosis penggunaan ovaprim adalah 0,2 cc/ekor induk jantan. Sebelum dilakukan penyuntikan, terlebih dahulu induk betina ditimbang untuk mengetahui berapa dosis penyuntikan yang diperlukan sesuai dengan berat induk betina. Penyuntikan dilakukan pada punggung yaitu dibawah sirip secara intramuscular (Khairuman, 2002). Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali. Penyuntikan pertama dapat dilakukan pada malam hari yaitu pada pukul 20.00 WIB dengan dosis 1/3 dari total dosis, sedangkan penyuntikan kedua dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 WIB sebanyak 2/3 dari dosis total.
Induk yang telah disuntik, kemudian dimasukkan kembali ke dalam bak. Kemudian 6 – 8 jam setelah penyuntikan kedua dapat dilakukan pengurutan / stripping untuk mengeluarkan telur dari induk betina dan sperma dari induk jantan.
b.      Pengurutan / Stripping
29
Induk yang telah siap untuk di stripping kemudian diangkat dan dikeringkan terlebih dahulu dengan handuk untuk menghindari masuknya air ke dalam baskom. Proses stripping dilakukan dengan metode kering (dry stripping). Stripping dilakukan dengan cara mengurut bagian perut induk betina ke arah belakang. Telur yang keluar ditampung dengan menggunakan baskom yang telah dikeringkan sebelumnya. Setelah selesai melakukan striping pada induk betina, dilanjutkan dengan men-stripping induk jantan untuk  pengambilan sperma. Sperma diambil dengan cara mengurut bagian perut induk jantan ke arah belakang. Sperma yang keluar dari papila ditampung di dalam baskom yang telah berisi telur dari induk betina. Setelah telur dan sperma tercampur  dalam baskom langkah selanjutnya dilakukan  pengadukan dengan menggunakan bulu ayam sampai sperma dan telur tercampur merata. Pada saat proses pengadukan, telur dan sperma dicampur dengan larutan NaCL. Fungsi dari larutan NaCL adalah untuk memperpanjang umur sperma sekaligus mengencerkan telur dan sperma tersebut.
Pengadukan dilakukan perlahan, setelah telur dan sperma tercampur rata kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit agar sperma aktif dan dapat membuahi telur. Telur yang telah terbuahi ini kemudian dimasukkan ke dalam air untuk dibersihkan. Kemudian telur dibilas hingga bersih dan siap untuk di tetaskan ke dalam wadah. Wadah yang digunakan berupa akuarium dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 40 cm.

5.   Penetasan Telur
30
Telur-telur hasil stripping dapat ditetaskan dalam akuarium atau bak penetasan. Sebelum penebaran telur, terlebih dahulu bak atau akuarium di bersihkan kemudian diisi air setinggi 30 cm dan dipasang aerasi. Selama proses  penetasan kondisi suhu selalu dikontrol agar tetap stabil yaitu pada kisaran 280C - 310C. Telur akan menetas berkisar antara 24 - 28 jam pada suhu 28 - 290C (Siregar, 2001). Setelah telur menetas, wadah penetasan di bersihkan dengan cara menyipon cangkang dan telur yang tidak menetas. Wadah yang digunakan untuk penetasan dapat juga digunakan sebagai pemeliharaan larva dengan cara membuang air hingga 70%, kemudian diganti dengan air yang baru agar kualitas air dalam wadah tetap baik.

6.   Pemeliharaan Larva
Larva ikan patin dapat dipelihara di dalam akuarium, setiap akuarium dipasang 2 buah aerasi. Ketinggian air pada saat pemeliharaan 30 cm. Ruangan yang digunakan tertutup rapat untuk menjaga suhu agar tidak fluktuatif. Untuk menjaga kualitas air dilakukan penyiponan pada pagi atau sore hari dan pergantian air sebanyak 60 - 70% setiap 2-3 hari sekali (Khairuman dan Sudenda, 2002).
Pada saat larva berumur 1-2 hari, larva patin belum diberi pakan karena masih memiliki yolk sack sebagai cadangan makanannya. Larva yang telah berumur 3 hari diberi pakan berupa naupli artemia yang diberikan secara adlibitum dengan frekuensi 3 jam sekali. Setelah larva berumur 14 hari larva dapat didederkan ke kolam pendederan agar pertumbuhan larva cepat.

7.   Pendederan
31
        Menurut Santoso (1993), pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih sampai ukuran tertentu. Biasanya luas kolam yang digunakan antara 200–500 m2. Benih lepas hapa (umur 5 – 14 hari) dalam pemeliharaan atau wadah penetasan yang relatif sempit itu pasti tidak akan menampung bagi pertumbuhan larva dalam waktu lama. Oleh karena itu mereka harus segera dipindahkan ke areal lebih luas lagi yakni ke kolam pendederan.
        Sebelum larva didederkan ke kolam pendederan, kolam di olah terlebih dahulu untuk menghilangkan sisa amoniak dan zat beracun yang terdapat di kolam. Hal yang dilakukan yaitu pengeringan kolam, pencangkulan dasar kolam yang dilakukan untuk membalikkan dan memperbaiki struktur tanah, pembuatan kemalir untuk memudahkan saat melakukan panen, pengapuran yang berfungsi untuk menstabilkan pH tanah dosis pengapuran yang diberikan yaitu 50 gram per meter persegi, pemupukan dengan pupuk kandang dengan dosis 250 – 500 gram per meter persegi yang berfungsi untuk menumbuhkan pakan alami berupa phyto plankton dan zoo plankton.
Gambar 6. Pemupukan
Gambar 5. Pengapuran
Gambar 4. Pencangkulan dasar kolam



32
        Setelah 5 hari atau paling lambat seminggu semenjak telur menetas, benih ikan ini harus dipindahkan ke kolam pendederan. Pemindahan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Sebelum memindahkan benih, air di akuarium dikurangi sebanyak 70% untuk memudahkan saat panen larva. Setelah dirasa cukup, benih-benih yang terkumpul tersebut diambil dengan menggunakan serokan dan di tampung ke dalam wadah berupa kantong plastik atau baskom. Pemindahan ini harus dilakukan pada saat suhu air masih rendah, yaitu pagi hari atau sore hari.
        Pendederan dilakukan dengan cara memasukkan kantong plastik atau baskom tersebut ke dalam air kolam, lalu secara perlahan larva di masukan ke dalam kolam dengan cara memiringkan baskom atau kantong plastik ke permukaan kolam agar larva dapat keluar dari wadah tersebut dengan sendirinya. Sebelum benih dikeluarkan dari wadah terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi selama 10 – 15 menit untuk menyesuaikan suhu dari akuarium dengan suhu di kolam agar larva yang di dederkan tidak stress (Susanto, 2006).

8.    Panen Benih
Menurut Sutisna dan Sutarmanto (1995), pemanenan benih tergantung dari ukuran benih yang dikehendaki dan lama pemeliharaan. Pemanenan benih pada prinsipnya ada dua cara yaitu secara selektif biasanya dilakukan dengan tanpa melakukan pengeringan kolam. Alat tersebut diberi makanan tambahan supaya benih ikan yang akan ditangkap masuk ke dalamnya. Setelah beberapa waktu lamanya jaring diangkat dan benih yang terjaring dipungut sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
Panen secara total adalah pemanenan benih yang dilakukan secara sekaligus dengan mengeringkan kolam. Pemanenan dilakukan pada pagi hari sebelum matahari terbit, agar pada saat suhu udara mulai meningkat atau sekitar pukul 07.00, panen sudah selesai. Hal tersebut dilakukan agar benih yang dipanen masih pada temperatur udara pagi hari, sehingga mortalitas dalam pemanenan relatif kecil.
33
 
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
            Dalam pembenihan ikan patin pada Tugas Akhir (TA) ini, dilakukan beberapa kegiatan diantaranya yaitu, pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, perawatan larva, pendederan dan panen benih. Berdasarkan fakta lapangan, dideskripsikan beberapa data sebagai berikut :
4.1.1. Pemeliharaan induk
            Dalam pemeliharaan induk patin, kolam merupakan salah satu sarana penting yang harus disediakan. Kolam induk yang tersedia di BBIS Anjongan memiliki bentuk persegi empat. Induk jantan dan induk betina dipelihara di satu kolam. Berikut ini merupakan tabel kolam induk patin yang digunakan dilokasi.
Tabel 1. Kolam induk

No.

Kolam
Ukuran (m)

Material
Luas kolam (m2)
Jumlah induk (ekor)
Padat tebar (ekor/m2)
P
L
T
T. Air
1
Jantan

18,5 m

18,5 m

1 m

0,6 m

Beton

342m2
65
0,4 ekor/m2
2
Betina
40
Sumber : Data Lapangan BBIS Anjungan 2014
            Hal yang perlu diketahui dalam seleksi induk yaitu data induk, seperti asal induk, umur, berat, panjang dan sebagainya. Berikut ini merupakan tabel data induk patin di BBIS Anjongan.



35
Tabel 2. Data induk patin di BBIS Anjongan
No.
Uraian
Induk Jantan
Induk Betina
1
Jumlah Induk
65 ekor
40 ekor
2
Asal Induk
Sukabumi
Sukabumi
3
Umur
4 – 8 tahun
4 – 8 tahun
4
Berat Rata-rata
2 – 3 kg
2 – 3 kg
5
Panjang Rata-rata
48 cm
49 cm
Sumber : Data lapangan BBIS Anjungan 2014
Pakan yang diberikan selama pengelolaan induk berupa pellet mengapung merek dengan dosis 2% dari berat tubuh ikan dengan frekuensi pakan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Teknik pemberian pakan dilakukan dengan cara ditebar di sekeliling kolam.
Tabel 3. Kandungan pakan pada pegelolaan induk
No
Analisa
Kandungan
1
Protein
31 – 33 %
2
Lemak
3 – 5 %
3
Serat
4 – 6 %
4
Abu
10 – 13 %
5
Air
11 – 13 %
Sumber : Data lapangan BBIS Anjungan 2014
             Selain pegelolaan kolam dan pakan, hal lain yang harus diperhatikan adalah kualitas air tempat media pegelolaan induk. Pengukuran kualitas air di lapangan berupa suhu dan pH. Pengukuran dilakukan setiap 2 hari sekali. Pengukuran dilakukan pada pagi, siang dan sore hari. Berikut ini merupakan tabel pengukuran kualitas air yang dilakukan di lapangan.




36
Tabel 4. Parameter kualitas air kolam induk
No.

Parameter

Kisaran

Alat
Pagi
Siang
Sore
1
Suhu (°C)
27°C
32°C
28°C
Thermometer
2
pH
7
pH pen
Sumber : Data Lapangan BBIS Anjungan 2014

4.1.2. Seleksi induk siap pijah
Seleksi induk dilakukan dengan cara melakukan penangkapan induk menggunakan waring yang besar dan penangkapan dilakukan beramai-ramai. Berikut ini merupakan langkah-langkah seleksi induk di lapangan :
1.          Setelah terjaring, induk patin ditangkap pada bagian ekor, kemudian diangkat dari air.
2.         Badan dibalik hingga posisinya terlentang.
3.         Perhatikan bagian perutnya, perut yang buncit kearah genital merupakan salah satu ciri induk yang telah matang gonad.
4.         Warna kulit pada daerah genital berwarna kemerah-merahan.
5.         Raba bagian perutnya, apabila  lembek itu merupakan  salah satu ciri induk yang matang gonad.





37
Berikut ini merupakan tabel data induk jantan dan betina yang terseleksi
Tabel 5. Data induk patin yang terseleksi
No.
Uraian
Induk jantan
Induk betina
1
Jumlah
2 ekor
1 ekor
2
Berat (kg)
-        2,5 kg
-        2,5 kg
-        2,3 kg
3
Panjang (cm)
-        60 cm
-        52 cm
-        50 cm
4
Umur (tahun)
4 – 5 tahun
4 tahun
5
Morfologi



Tubuh
Ramping dan menggeluarkan sperma jikadilakukan striping
Perut terlihat gemuk dan lembut, bila bagian perut diraba terasa lembut
6
Warna
Abu-abu perak
Abu-abu perak

7
Kelamin
Alat kelamin berwarna kemerahan
Alat kelamin berwarna kemerahan
8
Tingkah laku
Agresif
Lamban
Sumber : Data lapangan BBIS Anjungan 2014
            Induk-induk yang telah terseleksi kemudian dimasukkan ke dalam wadah inkubasi (pemberokan) berupa waring berukuran 2 m x 3 m x 1 m. Bak inkubasi pemberokan berada dekat dengan tempat pemijahan, agar mudah dalam penanganannya. Suhu air saat pemberokan yaitu 28°C.

4.1.3. Teknik Pemijahan
            Pada saat di lapangan pemijahan yang dilakukan menggunakan metode kawin suntik (induced breeding) dengan perbandingan 2 : 1. Induk betina yang akan dipijahkan berjumlah 1 ekor sedangkan induk jantan berjumlah 2 ekor. Sebelum  dilakukan pemijahan, induk diberi rangsangan hormon terlebih dahulu. Rangsangan hormon dilakukan dengan melakukan penyuntikan. Hormon yang digunakan dalam kegiatan yaitu ovaprim. Berikut ini merupakan tabel penyuntikan hormon yang dilakukan di lapangan.
38
Tabel 6. Penyuntikan hormon
Perbandingan pemijahan
2 : 1

Bobot (kg)
Dosis penyuntikan
Waktu Penyuntikan WIB
Selang waktu penyuntikan

Ovulasi
P 1
P 2
P 1
P 2
P 1
P 2


8 – 10 jam dari penyuntikan ke-2
Betina

2,3 kg
0,6 ml ovaprim
0,6 ml ovaprim
20.00
06.00
-
10 jam
Jantan

2,5 kg
-
0,2 ml ovaprim
-
06.40
-
12 jam
Jantan
2,5 kg
-
0,2 ml ovaprim
-
06.45

12 jam
Sumber : Data lapangan BBIS Anjungan 2014
Keterangan :
·         P1 = penyuntikan pertama
·         P2 = penyuntikan kedua
Untuk penyuntikan induk betina, letak penyuntikan pertama berada di bagian punggung sebelah kanan dan penyuntikan kedua dibagian punggung sebelah kiri dengan sudut kemiringan 45°. Penyuntikan dilakukan di dalam waring dengan sebagian tubuh ikan terendam di dalam air sedangkan bagian punggung berada di atas permukaan air.
Setelah penyuntikan kedua dilakukan, selanjutnya adalah persiapan alat dan bahan. Adapun alat dan bahan yang digunakan pada saat melakukan pemijahan (induced breeding) dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.



39
Tabel 7. Persiapan alat dan bahan pemijahan
No.
Alat dan bahan
Jumlah
1
Baskom
1 buah
2
Bulu ayam
1 buah
3
Seser halus
1 buah
4
Handuk
2 buah
5
Ember
1 buah
6
Larutan Nacl 0,9%
Secukupnya
7
Air bersih
Secukupnya
Sumber : Data lapangan BBIS Anjungan 2014
Setelah ovulasi induk betina siap untuk di stripping dan pemijahan segera dilakukan. Langkah pengurutan yang dilakukan dilapangan yaitu:
1.      Induk betina ditangkap dari bak pemberokan kemudian di keringkan dengan menggunakan handuk agar air yang ada pada tubuhnya kering.
2.      Pengurutan dilakukan dengan cara menekan secara pelan – pelan pada bagian perut paling depan kearah lubang genital.
3.      Stpriping atau pengurutan dilakukan berulang-ulang sampai telur habis yang ditandai dengan perut induk yang mengecil atau kempes. Telur yang keluar ditampung pada wadah berupa baskom. Setelah pengurutan induk betina dikembalikkan di bak inkubasi.
4.      Selanjutnya induk jantan ditangkap dari bak pemberokan, kemudian di keringkan menggunakan handuk. Setelah tubuh ikan yang sudah kering, lalu dilakukan pengurutan.
5.      Pengurutan diawali dengan menekan bagian perut induk jantan bagian depan ke arah lubang genital.
6.     
40
Pada awal pengurutan induk jantan terlebih dahulu mengeluaran cairan bening. Cairan tersebut dibuang karena mengandung air. Cairan yang dimasukkan ke wadah yaitu cairan berwarna putih susu.
7.      Setelah telur dan sperma tertampung dalam satu wadah, telur dan sperma diaduk menggunakan bulu ayam. Agar pengadukan merata, diberikan larutan NaCL 0,9% secukupnya.
8.      Setelah telur dan sperma tercampur rata, tambahkan air bersih secukupnya  agar pembuahan segera berlangsung.
9.      Telur ditebar secara merata pada wadah penetasan dan diusahakan tidak ada yang  menumpuk.

4.1.4. Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan di wadah aquarium berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm dengan ketinggian air 30 cm. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan aerasi. Jumlah akuarium yang digunakan yaitu sebanyak 19 akuarium. Suhu air saat penetasan berkisar antara 26°C – 29°C sedangkan pH yaitu 7. Untuk mengetahui fekunditas dari induk betina yang dipijahkan, dilakukan perhitungan dengan metode gravimetrik yaitu dengan menimbang berat induk betina sebelum dan sesudah pemijahan. Berat induk sebelum dipijahkan yaitu 2,3 kg dan setelah dipijahkan berat induk 1,9 kg. selisih berat induk awal dan berat  akhir adalah 300 gr. Telur yang akan ditetaskan diambil sebanyak 1 gram dan dihitung jumlahnya. Jumlah telur dalam 1 gram 495 butir. Selanjutnya dapat dilakukan perhitungan frekuensi. Perhitungan fekunditas adalah sebagai berikut :
41
Diketahui :
Berat induk awal = 2,3 kg
Berat induk setelah dipijahkan = 1,9 kg
Selesih berat = 0,4 kg = 400 gr
1 gr telur = 495 butir
F =  x n
F =   x 495
F = 198.000 butir
            Selain fekunditas, dapat dihitung juga fertilisasi rate (FR). Pada saat perhitungkan jumlah telur, ditemukan telur yang tidak terbuahi yang ditandai dengan warna putih kusam, sedangkan telur yang terbuahi berwarna kuning kecoklat-coklatan dan bening. Dari perhitungan 1 gr, didapatkan 495 butir telur. Telur yang tidak terbuahi sebanyak 89 butir. FR yang didapatkan dapat dihitung melalui perhitungan di bawah ini :

1 gram telur = 495 butir
Telur yang tidak terbuahi sebanyak 89 butir
Telur yang tidak terbuahi : 495 – 89 = 406
Fertilisasi Rate (FR) =  x 100%
Jumlah telur yang terbuahi = 406 x 400 = 162.400 butir
Jumlah telur seluruhnya = 495 x 400 = 198.000 butir
42
Fertilisasi rate (FR)     =  x 100 %
= 82 %

4.1.5. Perawatan Larva
            Telur akan menetas sekitar 18 – 24 jam setelah penebaran telur. Setelah telur menetas dilakukan perhitungan daya tetas telur (hatcing rate). Perhitungan daya tetas telur dilakukan dalam wadah akuarium berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm dengan tinggi air 30 cm. Jumlah akuarium yang digunakan di lapangan sebanyak 19 buah. Pengambilan sampel dilakukan pada 5 titik menggunakan gelas berukuran 240 ml. Pengukuran ini menggunakan metode volumetrik. Perhitungan adalah sebagai berikut :
Jumlah seluruh volume air akuarium               : 96.000 x 19 = 1.824.000 ml
Jumlah seluruh volume air sampel                   : 240 x 5 x 19 = 22.800 ml
Jumlah telur sampel yang menetas                  :1752 ekor
Jumlah telur menetas =  x n
Jumlah telur =   x 1752
                     = 140.160 ekor
HR  =    x 100%
=            x 100 %
=              70%
43
Padat tebar =  
Padat tebar =   = 76 ekor/L
         
            Perawatan larva patin, dilakukan pada wadah yang sama yang digunakan untik penetasan telur. Suhu pada akuarium selama prosese perawatan larva berkisar antara 27°C – 30°C, sedangkan pH yaitu 7. Proses perawatan larva dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Proses Perawatan Larva ikan patin
No.
Hari
Keterangan
1
Hari ke 1 – 3
Larva masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Pada hari k-3 cadangan telur sudah menipis.
2
Hari ke – 2
Penetasan artemia
3
Hari ke 3 – 15
Pemberian pakan menggunakan artemia. Pemberian pakan dilakukan 3 jam sekali dengan frekuensi 8 kali sehari. Kisaran rata-rata pemberian artemia yaitu 240 – 300 ml untuk 1 kali pemberian.
4
Hari ke 4 – 15
Pada hari ke-4 dilakukan penyiponan dan pengantian air, setelah itu penyiponan dilakukan setiap 2 hari sekali.
Sumber : Data Lapangan BBIS Anjungan 2014
            Setelah berumur 15 hari, ukuran benih sekitar 1 – 2 cm dan siap untuk didederkan. Setelah semua larva di akuarium dipanen, langkah selanjutnya yaitu menghitung survival rate. Perhitungan dilakukan dengan cara penyamplingan tanpa air. Berikut merupakan perhitungan SR yang dilakukan dilapangan.
Diketahui :
-        Penyamplingan menggunakan takaran berukuran 30 ml.
-        Untuk 1 takaran didapatkan benih sebanyak 1255 ekor benih
-       
44
Total penyamplingan sebanyak 75 kali
Jumlah total benih yang disampling yaitu :
Jumlah benih 1 sampling x Total penyamplingan
1255 ekor x 75 = 94.125 ekor
SR =   x 100%
=   x 100%
= 67,15 %
Jadi, SR yang didapatkan yaitu 94.125 atau 67,15%.

4.1.6. Pendederan
            Setelah benih berumur 15 hari di ruang pemeliharaan, larva siap didederkan. Ukuran larva yang ditebar yaitu 1 – 2 cm. pendederan benih dilakukan di kolam dengan luas 600 m2, dengan tinggi air 50 cm. Pendederan dilakukan pada pagi hari. Benih yang ditebar sebanyak 94. 125 ekor  dengan padat tebar 6-7 ekor/m2. Kegiatan yang dilakukan pada saat pendederan dapat dilihat pada tabel  dibawah ini.
Tabel. 9 Kegiatan persiapan kolam pendederan
No.
Kegiatan
Waktu yang diperlukan
Alat dan bahan
dosis
1
Pengeringan kolam
2 – 3 hari
-
-
2
Pembalikan tanah
1 – 2 hari
Cangkul
-
3
Pengapuran
2 jam
Kapur dolomite
50 gr/m2
4
Pemupukan
30 menit
Pupuk kandang
500 gr/m2
Sumber : Data Lapangan BBIS Anjungan 2014
45
            Selama pendederan, benih diberikan pakan tambahan berupa pakan buatan (pellet) merk DO dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pemberian pakan dilakukan dengan cara adblitum dengan kisaran rata-rata pemberian pakan 0,5 kg – 1,0 kg/hari. Suhu di kolam pendederan antara 27°C – 32°C sedangkan pH yaitu 7. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi, siang dan sore hari.
4.1.7. Panen
            Setelah benih berumur 21 hari benih berukuran 3 – 5 dan benih siap dipanen. Pemanenan dilakukan pada pagi hari, pukul 07.00 WIB. Berikut ini perhitungan SR pada saat pemanenan.

SR =  x 100%
=  x 100%
= 76%
Jadi, SR yang didapat yaitu 71.800 ekor atau 76%.







46
Berikut ini merupakan tabel  peralatan yang digunakan pada saat pemanenan.
Tabel 10. peralatan dan bahan pemanenan
No.
Alat dan bahan
Ukuran
Jumlah
Fungsi
1
Waring penadah
1 m x 4 m
1 buah
Sebagai tempat penandah benih pada saat pemanenan
2
Serokan
-
2 buah
Alat penyerok benih
3
Kantong plastik
40 x 80 cm
3 buah
Sebagai tempat penampung benih
4
Waring penampung
2m x 3m x1m
1 buah
Sebagai tempat penampung
Sumber : Data Lapangan BBIS Anjungan 2014

4.2. Pembahasan
4.2.1. Pengelolaan Induk
            Induk merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan usaha pembenihan ikan patin. Induk yang baik dan sehat tentu akan menghasilkan benih yang baik pula. Dalam pengelolaan induk yang dilakukan di BBIS Anjugan, kolam yang digunakan untuk pemeliharaan  induk memiliki bentuk persegi empat, terbuat dari bahan beton, dasarnya berupa tanah.
            Untuk memudahkan dalam pengisian air dan pengeringan kolam sewaktu-waktu, kolam tersebut dilengkapi dengan saluran pemasukan dan saluran pengeluaran air. Hal ini sesuai dengan pendapat Angin (2003) yang mengatakan, kolam ikan harus mudah dialiri atau  diisi air dan mudah dikeringkan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk itu kolam ikan harus memiliki pintu pemasukan dan pengeluaran air yang baik.
47
            Dalam pemeliharaan induk, induk  jantan  dan induk betina dipelihara di satu kolam. Kolam induk memiliki ukuran 18,5 m x 18,5 m x 1m, dengan ketinggian air 60 cm. Jumlah induk jantan sebanyak 65 ekor dan induk betinaberjumlah 40 ekor, dengan padat tebar 0,4 ekor/m2. Menurut Hernomo (2001) mengatakan, kepadatan induk di dalam kolam pemeliharaan dianjurkan yaitu 0,25 kg/m2 dan tidak lebih dari 1 kg/m2 luasan kolam. Angin (2003) menambahkan, ketinggian air untuk pemeliharaan induk adalah 0,5 – 1 m. jika dilihat dari keadaan kolam induk patin di lokasi, kondisi air dikolam sudah sesuai.
Gambar 7. kolam induk patin
Selama pemeliharaan induk, induk patin diberi pakan buatan berupa pellet merk Hi-pro-vite 781 dengan dosis pemberian pakan 2% dari berat tubuh rata-rata dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Kandungan pakan pada penggelolaan induk yang diberikan yaitu, protein 31–33 %, lemak 3–5 %, serat 4–6 %, abu 10–13 %, air 11–13 %. Hernomo (2001) menyatakan, mutu induk selain ditentukan dari sisi genetiknya juga sangat ditentukan oleh cara perawatan induk. Paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan induk yaitu kolam pemeliharaa dan pakan. Kolam pemeliharaan yang dimaksud sebaiknya memiliki dasar tanah. Setiap hari induk diberi pakan sebanyak 2% dari berat badan dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari. Khairuman (2002) menambahkan, pakan yang diberikan untuk induk patin berupa pellet komersal yyang memiliki kadar protein minimum 28%. Pakan tersebut diberikan dua kali sehari yakni pagi dan sore hari.
48
Suhu dalam pemeliharaan induk patin di lokasi yaitu 27°C – 32°C, sedangkan pH 6 – 7. Khairuman (2002) menyatakan, suhu air media pemeliharaan yang sangat optimal berada pada kisaran 28°C – 30°C. ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air. Artinya, ikan ini dapat bertahan hidup pada kisaran 5 – 9. Lebih lanjut Djarijah (2001) mengatakan, ikan patin lebih menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu rendah (kecil). Kehidupan patin mulai terganggu apabila suhu perairan menurun sampai 14°C – 15°C ataupun meningkat di atas 35°C. Aktivitas ikan patin terhenti pada perairan yang suhunya dibawah 6°C atau di atas 42°C. jika dari suhu dan pH di kolam induk patin di lapangan sudah optimum untuk pemeliharaan induk patin.

4.2.2. Seleksi Induk
            Induk yang akan dipijahkan harus diseleksi terlebih dahulu untuk mendapatkan induk yang matang gonad. Induk-induk yang dipelihara di kolam tidak semuanya siap untuk dipijahkan. Oleh sebab itu, harus dilakukan seleksi induk terlebih dahulu. Menurut Khairuman (2002), induk ikan patin yang akan dipijahkan diseleksi terlebih dahulu, yakni dengan memilih induk-induk betina dan jantan yang matang gonad atau siap dipijah.
49
            Induk yang dipelihara di BBIS Anjungan berumur 4 – 8 tahun yang berasal dari Sukabumi dengan berat 2 – 3 kg. Langkah awal dalam melakukan seleksi induk yaitu penangkapan induk. Dalam melakukan seleksi induk, penangkapan ikan harus dilakukan secara hati-hati agar induk-induk tersebut tidak mengalami stress karena nantinya akan berpengaruh terhadap kesiapan sel telur dan sperma saat pemijahan dilakukan.
            Hernomo (2001), menyatakan untuk melihat atau memilih induk, induk tersebut harus ditangkap terlebih dahulu. Cara penangkapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan resiko sekecil apapun terhadap induk, seperti stress, lecet, jatuh, membentur dinding, dan sebagainya.
Gambar 8. pengangkapan induk



            Setelah induk terjaring, maka langkah selanjutnya adalah menentukan induk yang baik dan siap pijah secara visual. Ciri-ciri induk betina yang terseleksi adalah bagian perut besar dan mengembang, alat kelaminya berwarna merah, jika dibagian perut diraba terasa lembut dan apabila ditekan akan kembali seperti semula. Sedangkan induk jantan yang terseleksi pada saat bagian perut dekat lubang kelamin diurut, mengeluarkan sperma. Alat kelamin membengkak dan berwarna merah tua.
50
Gambar 10.  Alat kelamin induk jantan
Gambar 9. Alat kelamin induk betina
        


Untuk mengecek telur pada induk betina dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu kateter untuk meyedot telur. Dengan menggunakan kateter telur akan tampak di dalam kateter dan kemudian dikeluarkan untuk dilihat dan diamati secara visual. Ciri-ciri telur yang baik yaitu, telur berwarna kuning gading. Berbentuk bulat utuh (tidak lonjong), tidak mudah pecah, dan ukuran telur seragam. Berikut ini merupakan gambar induk betina yang telah matang gonad dan proses pengencekan telur secara visual dengan menggunakan selang kateter.
Gambar 12. pengecekan telur secara visual
Gambar 11. Induk betina matang gonad
       



Menurut Djarijah (2001) mengatakan, postur tubuh induk betina yang baik untuk  dipijahkan cenderung melebar, perut lembek, halus dan membesar ke arah anus. Urogenital membengkak dan membuka serta berwarna merah tua. Apabila bagian perut di sekitar lubang urogenital ditekan akan keluar butiran telur yang cukup besar berwarna putih kekuning-kuningan, dan berbentuk bulat utuh. Sedangkan postur tubuh induk jantan relatif lebih langsing dan panjang. Alat kelamin (urogenital) membengkak dan berwarna merah tua. Apabila bagian perut diurut akan mengeluarkan cairan putih kental (sperma).
51
Dari hasil seleksi yang didapatkan 2 induk jantan dan 1 induk betina. Berat induk jantan yang pertama yang terseleksi yaitu 2,5 kg dengan panjang 60 cm, sedangkan induk jantan kedua berat 2,5 kg dengan panjang 52 cm. umur kedua induk jantan yaitu 4 tahun. Untuk induk betina yang terseleksi yaitu 2,3 kg dengan panjang 50 cm dengan umur 4 tahun. Menurut Djarijah (2001) mengatakan, induk betina yang layak dipijahkan telah berumur 3 tahun dan beratnya telah mencapai 2 kg per ekor. Sedangkan induk jantan yang siap dipijahkan berumur 2 tahun dan beratnya mencapai 1,5 – 2 kg per ekor.
Setelah mendapatkan induk yang terpilih, induk kemudian diberokan atau dipuasakan. Induk dimasukkan ke wadah inkubasi induk berupa hapa. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghufran (2005) yang mengatakan, telah mendapatkan induk – induk terpilih, langkah selanjutnya yaitu pemberokan. Induk diberok pada wadah tersendiri, pemuasaan ikan selama ± 12 – 24 jam. Tujuannya adalah agar kotoran (faeces) keluar dan sekaligus meyakinkan hasil induk betina. Apabila induk betina terus membuncit setelah dipuasakan maka dapat dipastikan ikan tersebut matang gonad dan mengandung telur. Namun sebaliknya, perut ikan kempes berarti buncitnya perut ikan bukan karena adanya telur, melainkan pakan.


52
4.2.3. Teknik pemijahan
Pemijahan adalah pertemuan antara induk jantan dan induk betina yang bertujuan untuk pembuahan telur. Setelah induk jantan dan betina siap memijah didapatkan, langkah selanjutnya adalah persiapan pemijahan. Namun sebelum itu induk patin terlebih dahulu diberikan perlakuan rangsangan hormon. Karena selama ini ikan patin sangat sulit memijah di kolam yang bukan habitat aslinya. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan pemberian rangsangan hormon yaitu dengan melakukan penyuntikan. Susanto (1997) menyatakan, ikan patin sulit memijah di kolam atau wadah pemeliharan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman. Oleh karena itu, pemijahan ikan patin umumnya dilakukan secara buatan karena selama ini belum ada orang yang berhasil memanipulasi lingkungan untuk membujuk patin mau memijah secara alami.
a. Penyutikan
            Penyuntikan patin dilakukan di lapangan mengunakan hormon ovaprim. Penyuntikan pertama dilakukan pada induk betina dengan berat 2,3 kg. Setelah itu penyuntikan kedua dilakukan bersamaan pada induk betina dan jantan secara bersamaan dengan menggunakan hormon ovaprim. Penyuntikan pada induk betina dengan dosis penyuntikan 0,6 cc/kg. untuk induk jantan dosis hormone yang digunakan yaitu 0,2 cc/ekor. Selang waktu penyuntikan kedua yaitu 12 jam.
Gambar 13. Hormon ovaprim, NaCL, dan spuit
53
Hernomo (2001) mengatakan, hormon yang dapat digunakan untuk merangsang ovuasi bermacam-macam, terutama yang diperjual belikan, misalnya ovaprim, provasi, LHRH, atau HCG. Umumnya, pembenihan ikan menggunakan ovaprim karena praktis dalam menggunakannya. Apabila menggunakan hormon ovaprim, dosis yang digunakan biasanya antara 0,50  – 0,75 cc/kg. Dosis tersebut digunakan untuk dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama dosis 1/3 bagian. Sedangkan 2/3 bagian sisanya diberikan pada penyutikan kedua.
            Menurut pendapat Ghufran (2005) yang mengatakan, untuk induk jantan bila tanpa suntik pun sperma induk jantan   dengan mudah dikeluarkan, maka induk jantan tidak harus disuntik dengan hormone ovaprim. Namun, bila induk jantan belum terlalu matang, sebaiknya induk jantan disuntik menggunakan hormon ovaprim dengan dosis 0,2 cc/ekor.
Untuk penyuntikan induk jantan dan betina, penyuntikan dilakukan di dibagian punggung (intramuscular) dengan sudut penyuntikan 450. Djarijah (2001) menyatakan, bagian tubuh induk ikan yang relatif aman disuntik adalah permukaan atas (dorsal) disisi kanan dan kiri agak didepan sirip punggung dan bagian depan sirip ekor serta bagian bawah perut (intrapheritonial) didekat pangkal sirip perut dan sirip dada. Selanjutnya Khairuman (2007) menyatakan bahwa, penyuntikan dilakukan secara intramuscular, yakni didalam daging atau otot, tepatnya dibagian kiti atau kanan belakang sirip punggung. Alasannya, bisa dilakukan cukup dalam. Dengan demikian, resiko keluarnya cairan hormone melalui lubang injeksi bisa dihindari. Hernomo (2001) menambahkan, pada perinsipnya penyuntikan dilakukan dengan dua pertimbangan. Pertama tepat target, artinya hormon yang disuntik dapat masuk ketarget. Pertimbangn kedua, minimalkan resiko negatif akibat penyuntikan, yaitu luka tau sakit yang dapat menyebabkan stress atau keadaan yang lebih parah lagi. Tempat penyuntikan yang dianjurkan adalah pada ketiak sirip.
54
 
Gambar 14. Penyuntikan
b.      Pemijahan (induced breeding)
Ikan patin walaupun sudah dilakukan penyuntikan hormone tetap tidak mau melakukan pemijahan. Oleh karena itu, maka harus dilakukan pemijahan secara stiriping. Khairuman (2002) mengatakan, ika patin merupakan salah satu jenis ikan yang sulit memijah secara alami jika tidak berada di habitat aslinya. Untuk itu perlu dilakukan pemijahan secara induced breeding (kawin suntik). Tingkat keberhasilan kawin suntik sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad induk patin.
Sebelum melakukan pemijah harus dilihat dulu bagaimana kesiapan induk apakah sudah dalam masa puncak ovulasi atau belum. Pengecekan di lakukan dengan cara mengurut perut dari arah kepala kelubang genital, langkah ini dilakukan dengan cara hati-hati, jangan sekali-kali dilakukan pijatan yang kuat atau dipaksakan. Jika telur tidak bisa di ovulasikan dengan stripping yang lembut dengan kata lain membutuhkan pijatan yang kuat pada apdomen, ini artinya bahwa ovulasi belum terjadi, maka proses stripping harus dihentikan dan induk harus dikembalikan ke wadah inkubasi induk dan ditunggu beberapa jam lagi. Stripping dengan pijatan yang kuat atau dipaksakan menyebabkan telur yang diovulasikan tidak total atau parsial, lebih lanjut menyebabkan ikan stress dan mati. Jika induk stripping optimum (tepat), maka telur akan keluar dengan lancar sehingga waktu stripping dan penanganannya lebih singkat dan induk segar kembali dengan stress yang minimal.
55
Pada saat di lapangan ovulasi terjadi yaitu 10 - 12 jam setelah penyuntikan kedua, hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman (2007) mengatakan, secara umum waktu ovulasi patin terjadi 6 – 12 jam setelah penyuntikan kedua. Susanto (1997) menambahkan, jika sudah waktunya, yaitu dekat dengan tanda-tanda ovulasi atau sekitar 8 – 12 jam dari penyuntikan kedua, induk betina ditangkap untuk dilakukan pengurutan.
Selain itu kita juga harus menyiapkan bahan-bahan dan alat yang akan digunakan pada saat pemijahan nantinya. Alat dan bahan disiapkan yaitu baskom palstik, handuk, bulu ayam, seser halus, ember, larutan NaCL 0,9%, dan air bersih. Menurut Angin (2003), bulu ayam atau bulu bebek berfungsi untuk mengaduk telur dan sperma agar tidak mudah  agar tidak mudah pecah, sementara baskom digunakan untuk menampung telur hasil stripping dan untuk tempat mengaduk telur dan sperma. Lebih lanjut dikatakn oleh Angin (2003), bulu ayam atau bulu bebek dan baskom yang digunakan harus bersih dan kering. Karena, jika salah satu alat pemijahan mmengandung air (basah) akan mengakibatkan telur yang ditampung dalam baskom bertemu air dan segara aktif. Jika saat telur aktif dan tidak terbuahi oleh sperma, maka telur tersebut akan mati. Demikian juga halnya dengan sperma, bila bertemu dengan air akan segera aktif. Kejadian ini akan mengurangi persentase keberhasilan pembuahan telur.
56
Setelah induk ovulasi serta alat dan bahan telah dipersiapkan, langkah selanjutnya yaitu pengurutan (stripping). Cara pengurutan (stripping) yaitu dengan menggunakan jari tengah dan jempol (Susanto dan Amri, 1999). Dalam pengurutan atau stripping haruslah menggunakan handuk dan kain untuk memegang ikan patin sehingga akan lebih mempermudah dalam penanganannya karena ikan patin bertubuh licin.
Setelah induk betina selasai di stripping kemudian dilanjutkan dengan induk jantan, cara yang dilakukan juga sama dengan stripping induk betina. Telur dan sperma yang dikeluarkan ditampung dalam satu wadah yaitu  baskom, kemudian diaduk menggunakan bulu ayam hingga merata. Selanjutya telur diberi larutan NaCL 0,9% secukupnya. Fungsi larutan NaCL 0,9% ini tujuan untuk memperpanjang umur sperma dan memperpanjang umur telur. Setelah teraduk merata tambahkan sedikit air, hal ini sesuai dengan pendapat Hamid, dkk (2007) yang mengatakan, pembuahan dilakukan  dengan cara memasukkan air ke dalam wadah telur yang sudah dicampur dengan sperma. Proses pembuahan ini berlangsung cepat kerena sperma hanya aktif bergerak dan bertahan hidup kurang lebih satu menit. Oleh karena telur patin mengandung zat perekat yang menyebabkan telur lengket, maka kita harus mengurangi daya rekat tersebut dengan cara mencuci telur tersebut dengan air, kemudian aduk hingga daya rekat telur berkurang. Telur kemudian dibilas dengan air bersih hingga warna telur kembali seperti semula, setelah itu telur siap ditebar. Menurut Hamid, dkk (2007) untuk menghilangkan daya rekat telur pada ikan patin, maka dilakukan pencucian telur dengan menggunakan larutan tanah merah, kemudian telur dicuci kembali hingga bersih. Sebaiknya telur ditebar secara merata dan diusahakan tidak ada telur yang menumpuk. Oleh karena itu harus dilakukan pengontrolan pada telur yang ditetaskan. Berikut ini merupakan gambar pemijahan yang dilakukan di lapangan.
57
 
Gambar 16. Stripping induk jantan
Gambar 15. Stripping induk betina
 



Gambar 17. pencampuran dengan larutan NaCL
 
Gambar 18. pengadukan telur
 




58
4.2.4. Penetasan telur
            Proses penetasan telur di BBIS Anjungan dilakukan di wadah berupa akuarium. Akuarium tersebur berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm  dengan ketinggian air 30 cm. jumlah akuarium yang digunakan berjumlah 15 akuarium, masing-masing volume air disetiap akuarium 96.000 ml. persiapan wadah akuarium dilakukan sehari sebelum telur-telur patin ditebar. Akuarium yang digunakn dibersihkan terlebih dahulu, hal ini bertujuan untuk menghindari telur terserang penyakit. Setelah dibersihkan, akuarium diisi dengan air bersih. Air yang masuk mengatakan, pengguaan aerasi mutlak diperlukan dalam pemeliharaan larva karena aerasi berfungsi untuk mensuplai oksigen terlarut dalam air.
Gambar 19. Penebaran telur di akuarium
            Penebaran telur dilakukan secara merata di dasar wadah penetasan diusahakan tidak ada telur yang menumpuk. Pada saat di lapangan telur yang menetas berwarna kuning bening. Sementara Hernomo (2001) menyatakan, prinsip di dalam melakukan penebaran telur adalah mengusahkan telur tersebar merata, tidak ada menumpuk. Penumpukan telur dapat mengakibatkan kematian larva yang pada tahapan berikutnya menyebabkan menurunya kualitas air. Untuk mempermudah penebaran dan mengantisipasi agar tidak terjadi penumpukan telur, dianjurkan untuk mematikan aerator sebelum telur ditebar (menghentikan gerakan atau arus air). Setelah penebaran di bak penetasan selesai dilakukan, sebaiknya ditunggu sampai telur kuat melekat pada subtract (dinding  akuarium, bak atau hapa) baru aerator dijalankan.
59
            Angin (2003) mengatakan, saat telur ditebar dan menyentuh air dalam wadah penetasan, sperma dan telur mulai aktif. Pada waktu tersebut terjadi pembuahan oleh sperma. Telur yang terbuahi akan mengalami perkembangan dan telur yang tidak terbuahi akan mati. Telur yang terbuahi berwarna kuning kecokelat-cokelatan dan jernih, sedangkan telur yang mati berwarna putih. Telur yang terbuahi akan menetas, sementara telur yang tidak terbuahi akan rusak dan membusuk.
            Kenyataan di lapangan telur menetas  antara 18 – 24 jam setelah telur ditebar. Selama penetasan telur, suhu air di akuarium stabil berkisar 26 – 29°C. hal ini dikarenakan ruangan yang digunakan dalam penetasan berada di ruangan tertutup. Untuk pH air yaitu 7. Ghufran (2005) mengatakan, telur yang terbuahi akan menetas pada saat 18–24 jam setelah ovulasi pada suhu 26 – 28°C.
            Untuk mengetahui fekunditas, induk ditimbang untuk mengetahui berat total telur, dan didapatkan berat total telur sebanyak 400 gram. Kemudian telur-telur disampling dengan perhitungan sampel per 1 gram telur dengan menggunakan timbangan digital. Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel telur 1 gram sebanyak 495 telur. Kemudian berat total telur dikalikan dengan jumlah sampel telur, dan didapatkan fekunditas yaitu 198.000 butir telur. Menurut SNI (2008), fekunditas yang dihasilkan oleh induk patin yaitu 120.000 – 200.000 butir/kg. untuk lebih jelas, fekunditas dapat dilihat dibagian hasil.
60
            Selama proses penetasan telur ikan patin, pengontrolan terhadap suhu air dalam wadah harus sering dilakukan, karena suhu yang berubah sangat berpengaruh terhadap proses penetasan. Perkembangan telur ikan patin juga memerlukan lingkungan (media) yang memilki suhu optimal (26°C – 29°C) dan relatif stabil. Proses perkembangan telur ikan akan terhambat bila media penetasan suhunya berfluktuasi, Djarijah (2001). Untuk menjaga air agar tetap jernih dan tidak keruh perlu dilakukan penyiponan, dengan tujuan untuk membuang sisa-sisa telur yang tidak menetas, karena telur yang tidak menetas akan berbau  amis dan membuang kotoran wadah penetasan. Jika hal ini dibiarkan bisa meningkatkan angka kematian larva.

4.2.5. Perawatan Larva
            Dalam waktu ± 24 jam telur sudah menetas menjadi larva. Kemudian larva-larva tersebut dihitung dengan cara sampling, sampling dilakukan sebanyak lima titik disetiap bak penetasan dengan menggunakan gelas aqua dengan volume air sampel 240 ml. dari perhitungan dengan metode volumetric, didapatkan telur yang menetas sekitar 140.160 Ekor atau sebesar 70% dengan padat tebar 76 ekor/liter. HR dan padat tebar yang dihasilkan sudah cukup baik, hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2006) yang mengatakan, daya tetas telur (HR) yang optimal pada ikan patin sekitar 75% – 80% dan ditambahkan lagi oleh Hamid, dkk (2007) yang mengatakan, pada tebar yang ideal untuk pemeliharaan larva dalam akuarium adalah 60 – 80 ekor/liter.
61
            Setelah telur menetas kegiatan selanjutnya adalah perawatan larva, dimana larva-larva tersebut dirawat di akuarium yang sama pada penetasan telur. Dalam perawatan larva, suplai oksigen dan suhu harus tetap dijaga dan dikontrol, karena larva merupakan fase yang sangat kritis sepanjang kehidupan ikan. Suhu air dalam wadah pemeliharaan larva di lapangan berkisar antara 27 – 30°C sedangkan pH menurut Huet (1975) dalam Lesmana (2007), pH air yang baik untuk budidaya yaitu 7 – 8.
            Pada hari pertama larva menetas, tampak larva bergerak turun naik. Pada hari kedua, terlihat dua buah titik pada sebagian larva, yang dipastikan dua titik hitam tersebut sebagai mata, perut terlihat berbentuk bulat berisi cadangan makanan. Hari berikunya larva tampak dapat berenang dengan cukup baik, kuning telur yang berda pada perutnya tampak mulai menipis. Saat itu larva cukup  aktif dan sesekali berkurumun membentuk gerombolan.
            Pada hari 1 – 2 larva tidak diberi pakan. Karena pada saat itu larva ikan patin masih memiliki cadangan makanan yang terdapat di perutnya yaitu berupa kuning telur. Hari pertama pemberian pakan, larva sesekali bergerak untuk menangkap makanan yang lewat dilubang mulutnya. Menurut Khiruman (2002), selama 2 – 3 hari, larva memanfaatkan kuning telur (yolk sach) pada tubuhnya. Bekal kuning telur tersebut mulai habis ketika masuk hari ke-3 atau ke-4,  sehingga segera diberi suspense kuning telur ayam dan makanan alami berupa kutu air (moina), artemia, rotifer dan jentik-jentik nyamuk.
            Setelah larva berumur 3 hari, larva ikan patin diberi pakan artemia. Pemberian pakan dilakukan 3 jam sekali dengan frekuensi 6 kali sehari yaitu pukul 06.00, pukul 09.00, pukul 12.00, pukul 15.00, pukul 18.00, dan pukul 21.00. pakan yang diberikan secara adlibitum dengan kisaran rata-rata 240 – 300 ml. Hal ini dilakukan setelah larva berumur 2 hari, larva patin harus segera diberi pakan karena larva  patin yang lapar akan memangsa temanya sendiri karena larva patin bersifat kanibalisme terutama setelah berumur 2 – 5 hari, sebagai langkah antisipasi frekuensi pemberian pakan dilakukan 2 – 3 jam sekali. Menurut Hamid, dkk (2007), frekuensi pemberian pakan diberikan 8 kali sehari dengan interval waktu 3 jam sekali.
62

Gambar 20. Pemberian pakan artemia pada larva
            Penetasan  artemia dilakukan dengan cara dikultur sebelum kuning telur sebagai cadangan makanan larva  habis, yaitu ketika larva berumur 2 hari. Wadah yang digunakan untuk kultur artemia  adalah corong penetasan dengan salinitas yang  digunakan  di lapangan yaitu 30 ppt cdengan suhu 26°C – 30°C. selama penetasan artemia corong dilengkapi dengan cara menghentikan aerasi, setelah 10 menit cangkang artemia akan menetas ± 24 jam. Setelah 24 jam artemia sudah siap dipanen, pemanenan dilakukan dengan carra menghentikan aerasi, setelah 10 menit cangkang artemia akan mengapung dan naupli artemia akan mengedap didasar corong. Untuk memanen naupli artemia digunakan selang untuk menyipon naupli artemia yang mengedap. Pemberian pakan alami artemia di lapangan diberikan selama 15 hari selama pemeliharaan  larva berlangsung. Berikut ini merupakan gambar corong penetasan artemia yang terdapat dilapangan.
63

Gambar 21. Corong penetesan artemia
Munurut Angin (2003), telur artemia ditetaskan pada corong penetasan. Corong penetasan diisi air dengan kadar salinitas 25 ppt – 30 ppt. Jika air laut tidak tersedia, dapat menggunakan air tawar yang bersih dicampur dengan garam dapur. Jumlah garam dapur secukupnya sehigga salinitas mencapai 25 ppt – 30 ppt. Corong penetasan dilengkapi dengan aerasi. Telur artemia akan menetas selama 20 – 24 jam pada suhu 260C – 30­0C.
Selama kegiatan pemeliharaan larva, kegiatan yang perlu dilakukan yaitu pergantian air dan penyiponan. Pergantian air dilakukan setelah larva berumur 4 hari, penyiponan kemudian dilakukan setiap 2 hari sekali. Penyiponan bertujuan untuk membuang sisa-sisa telur yang tidak menetas, karena telur yang tidak menetas akan berbau amis dan membuat wadah pemeliharaan larva menadi  kotor. Jika hal ini dibiarkan bisa meningkatkan angka kematian larva. Cara penyiponan yang dilakukan di lapangan yaitu dengan memasukkan saringan ke dalam wadah penetesan yang terbuat dari paralon yang telah diberi lubang-lubang dan diberi kain happa untuk menghindari tersedotnya larva. Lalu sedot air dengan menggunakan selang dan sisakan 1/3 bagian, penyiponan ini mengeluarkan air yang lama sedangkan untuk membbuang kotoran di akurium menggunakan selang berukuran kecil. Isi kembali wadah tersebut dengan air dengan suhu yang sama sampai terisi penuh seperti sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Djarijah (2001), yang menyatakan untuk mempertahankan kualitas air sekaligus mengurangi bahaya keracunan karena pembusukan sisa-sisa makanan dan kotoran. Air untuk memelihara larva atau benih tersebut harus disipon setiap 2 hari sekali.
64
Lama pemeliharaan larva di lapangan yaitu 15 hari, ukuran larva yang didapat yaitu 1-2 cm. Menurut Hamid, dkk. (2007) mengatakan, panjang larva baru menetas adalah 0,4 cm dan dalam masa pemeliharaan 15 hari. Larva ikan patin mencapai total 1,875 cm. Setelah 15 hari larva siap dipanen. Pemanenan yang dilakukan di lapangan yaitu dengan cara penyamplingan tanpa air, dengan mengurangi air di akuarium hingga tersisa 20%, kemudian serok benih dengan hati-hati, kemudian larva dituang kedalam wadah sampling, wadah sampling yang digunakan berukuran 30 ml, pada bagian bawah wadah sampling telah dilubangi agar air dapat keluar. Setelah itu larva dituang kedalam ember secara berlahan-lahan. penyerokan dilakukan hingga tidak ada larva yang tertinggal. Larva yang tertampung didalam ember harus segea didederkan agar tidak terjadi kematian pada larva. Total penyamplingan larva yaitu sebanyak 75 kali. Untuk mengetahui SR, hitung banyak larva yang terdapat dalam wadah sampling. Dari hasil perhitungan didapat 1 sampel larva sebanyak 1255 ekor. Hasil SR yang didapat yaitu 67.15 %. Untuk lebih jelas SR dapat dilihat pada bagian hasil.
65
Jika dilihat dari hasil tersebut, SR yang dihasilkan sudah baik, hal ini sudah sesuai dengan pendapat Khairuman (2002) yang mengatakan, benih atau larva yang dipelihara di dalam air dengan salinitas 4/mil dan 8/mil akan memiliki derajat kelasungan hidup 87,8% dan 85,7%. Jika larva atau benih dipelihara pada salinitas 0/mil dan 12/mil, derajat kelangsungan hidupnya masing-masing 73,3% dan 72,3%.

4.2.6. Pendederan
Setelah benih berumur 15 hari, benih siap di dederkan. Pendederan benih dilakukan di kolam tanah dengan dasar perairan tanah liat berpasir. Kolam tanah yang dilakukan untuk pendederan berukuran 5 m x 13 m dengan ketinggian air 50 cm. Adapun bentuk kolam pendederan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 22. kolam pendederan
Pendederan dilakukan pada pagi hari ketika suhu kolam masih rendah dengan perlakuan aklimatisasi. Wadah yang digunakan untuk pendederan saat di lapangan adalah baskom. Benih ditebar dengan menenggelamkan baskom ke dalam air kolam sehinggga benih ikan bisa keluar dengan sendirinya. Benih yang ditebar sebanyak 94.125 ekor dengan padat tebar 5,75 ekor/m2. Padat tebar pendederan di kolam sudah baik, hal ini sudah sesuai Menurut SNI (2008) menyatpakan, padat tebar yang baik untuk pendederan patin yaitu 7 ekor/m2.
66
Sebelum benih ditebar, kolam pendederan disiapkan 1 minggu sebelum larva ditebar dikalam. Adapun tahap-tahap dari persiapan kolam dimulai daru pengeringan kolam dan pembersihan kolam dari rumput-rumput liar. Dilapangan pengeringan dilakukan selama 4 – 5 hari atau sampai tanah ditandai retak-retak, hal ini bertujuan untuk membunuh bibit penyakit atau predator yang ada didalam kolam agar saat benih ditebar dapat tumbuh maksimal. Setelah tanah kering selanjutnya dilakukan pembalikan tanah dasar. pembalikan dasar kolam bertujuan untuk mengemburkan tanah dasar kolam, meningkatkan kualitas tekstur tanah dasar kolam, memperlancar proses terjadinya pertukaran oksigen tanah yang akan menguapkan gas-gas beracun dari hasil proses penimbunan dan penguraian sisa-sisa makanan dan kotoran ikan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993) yang mengatakan, kolam pendederan harus dikeringkan, dan  diolah dengan cara di cangkul atau dibajak. Pengeringan bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanah agar gas-gas beracun yang terdapat didalamnya menguap atau hilang. Lama pengeringan dasar kolam cukup 2 – 3 hari.
Setelah dasar tanah kering, kolam dikapur. Pengapuran kolam dilakukan dengan cara  penebaran kapur dengan merata kepermukaan dasar kolam. Di lapangan kapur yang digunakan adalah kapur Dolomite (CaCO3) sebanyak 32,5 kg. Fungsi pengapuran adalah untuk menetralisir asam basah yang terdapat dalam air, memperbaiki kondisi tanah, dan menambah pH.
67
Untuk mempercepat pertumbuhan pakan alami yang merupakan pakan utama benih patin maka diperlukan pemupukan. Sebelum proses pemasukan air kealam kolam, terlebih dahulu dimasukkan pupuk kandang dibagian bawah sebelum pemasukan air. Pupuk berasal dari kotoran ayam yang sudah kering. Banyaknya pupuk yang digunakan dilapangan yaitu 32,5 kg, pupuk berjumlah 2 karung yang masing-masing karung memiliki berat 1,5 kg. Hal ini sesuai dengan Puslitbangkan (1992) bahwa kolam pendederan sebelumnya telah disuburkan dengan pemupukan pakan alami yang merupakan pakan utama larva ikan patin. Fungsi pemupukan yaitu memperbaiki struktur tanah dengan kesuburan dan penambahan unsur hara dikolam, dan pupuk organik dapat merangsang pertumbuhan zooplankton dan phytoplankton yang merupakan makanan alami ikan. Setelah pemupukan, kolam dialiri dengan air hingga mencapai ketinggian 50cm dan dibiarkan selama 3 – 4 hari. Pengisian air pada kolam pendederan melalui pintu pemasukan air yang menggunakan pipa 4 inchi. Berikut ini merupakan gambar kegiatan panen larva dan pendederan.

Gambar 23. Panen larva
Gambar 24. Pendederan Larva
 



68
Setelah 3 – 4 hari dari pengolahan kolam, benih siap didederkan. Pemberian pakan dilapangan berupa pelet halus dengan merek DO. Kandungan pakan yang diberikan selama pendederan yaitu protein 40%, lemak 6%, serat kasar 3%, abu 16%, dan kadar air 11%. menurut SNI (2008) menyaatakan, pakan benih dari umur 15  sampai 45 hari di kolam diberikan pakan buatan dengan kadar protein min 28%. Pemberian pellet halus diberikan setelah benih di tebar selama 3 hari. Hal ini disebabkan karena di kolam masih terdapat pakan alami. Pemberian pakan dilakukan dengan cara adlibitum frekuensi pemberian dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pemberian pakan rata-rata untuk benih patin yaitu 0,5 – 1,0 kg/hari. Pemberian diberikan dengan cara ditebar secara merata kepermukaan kolam. Pemberian pakan di lapangan sudah baik, sesuai dengan pendapat  Djarijah (2001) yang mengatakan, pakan ditebar secara merata diatas permukaan kolam setiap pagi dan sore hari. Benih patin sebanyak 100.000 ekor dapat diberi pakan pelet sebanyak 0,5 kg – 1,0 kg/hari (pagi 0,25 – 0,5 kg dan sore 0,25 – 0,5 kg). Kisaran suhu selama pemeliharaan di kolam pendederan antara 270C - 320C, sedangkan pH yaitu 7. Pengukuran dilakuakn pada pagi, siang, dan sore, sedangkan pH diukur 1 kali sehari.

4.2.7. Panen Benih
            Setelah benih berumur 21 hari benih siap dipanen. Ukuran benih dilapangan pada saat dipanen berukuran 5 – 8 cm. pertumbuhan benih patin dilapangan sangat baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Djarijah (2001) yang mengatakan, selama 1 bulan benih hasil panen berupa gelondingan (fingerling) dengan ukuran panjang berkisar 3 – 5 cm dan dan beratnya berkisar 5 – 10 g/ekor. Pemanenan benih dilakukan pada pagi hari dimana udara tidak terlalu panas sehingga benih tidak stres dan lemah. Adapun tahapan – tahapan pemanenan dilakukan dengan mempersiapkan bak yang digunakan  untuk menampung benih. Wadah penampung benih berupa happa yang berukuran 2 m x 3 m x 1 m. Sebelum melakukan pemanenan, happa dipasang didekat kolam yang akan dipanen. Hai ini bertujuan untuk pengangkutan dan agar ikan tidak stress apabila dibawa terlalu jauh.
69
            Setelah pemasangan wadah penampung, langkah selanjutnya adalah pemasangan waring penadah  disaluran pengeluaran. pemasangan waring penadah ini bertujuan agar benih yang dipanen akan keluar melalui saluran pengeluaran dan akan tertampung diwaring penadah. Langkah selanjutnya yaitu membuka saluran pengeluaran. Saat air dikolam sudah berkurang 90% benih akan mengumpul dikemalir dengan demikian benih yang berkumpul dikemalir perlahan-lahan akan menuju waring yang dipasang pada saluran pengeluaran. Menurut Djarijah (2001) panen dilakukan secara total dengan mengeringkan kolam dan menangkap semua benih. Air kolam dibuang (dikurangi) sebanyak 90% dari total volume kolam. Berikut ini merupakan gambar pemanenan benih.
Gambar 25. Panen benih
70
Benih patin yang telah dipanen kemudian dimasukkan kedalam wadah penampung. Pengangkutan benih menggunakan plastik berukuran 40 x 80 cm. Benih patin yang telah dipanen disortir dengan cara manual dengan menyortir satu per satu. Penyortiran atau greeding dilakukan untuk mendapatkan benih yang seragam dan sesuai  dengan permintan konsumen kemudian dilakukan penghitungan untuk mengetahui jumlah benih patin yang dihasilkan. Hasil SR pemanenan yang didapatkan di lapangan yaitu 76 % atau sebanyak 71.800 ekor dari penebaran. SR yang didapatkan di lapangan sangat baik, hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman (2002) yang menyatakan, derajat kelangsungan hidup benih patin selama lima minggu yaitu 88%.













BAB V
PENUTUP
5.1.   Kesimpulan
            Dari kegiatan pembenihan ikan patin yang dilakukan di BBIS Anjongan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengelolaan induk patin betina dan jantan dilakukan di kolam berbentuk persegi empat bermaterial beton dengan ukuran 18,5 m x 18,5 m x 1 m dengan tinggi air 60 cm. Induk jantan dan induk betina dipelihara di satu kolam. Seleksi induk dilakukan dengan penangkapan induk, pemantauan secara visual dan dengan pengurutan. Induk yang terseleksi berjumlah 1 ekor induk betina dan 2 ekor induk jantan.
2.      Teknik pemijahan ikan patin dilakukan dengan metode kawin suntik (induced breeding). Penyuntikan pada induk betina menggunakan ovaprim dengan dosis 0,6 cc/kg. penyuntikan induk jantan menggunakan ovaprim dengan dosis 0,2 cc/ekor. Ovulasi terjadi yaitu 10 – 12 jam dari penyuntikan kedua.
3.     
71
Penetasan dan perawatan larva dilakukan pada wadah yang sama yaitu akuarium. Telur menetas ± 24 jam setelah penebaran. Fekunditas yang dihasilkan induk patin yaitu 198.000 butir. Telur yang menetas sebanyak 140.160 ekor. Dari hasil tersebut diketahui daya tetas telur (hatcing rate) sebesar 70 % dengan padat tebar 76 ekor/liter. Pakan yang diberikan setelah umur larva 3 – 15 hari yaitu artemia dengan frekuensi pemberian 2 jam sekali. Selama perawatan larva, dilakukan penyiponan untuk menghindari menurunnya kualitas air yang menyebabkan kematian pada larva. Pada hari ke 15, dilakukan perhitungan SR (tingkat kelangsungan hidup). SR yang didapat sebanyak 94.125 ekor. Dari hasil tersebut SR larva ikan patin yang diperoleh sebesar 67,15 %.
4.      Pendederan dilakukan pada saat larva berumur 15 hari. Larva yang ditebar sebanyak 94.125 dengan padat tebar 5,75 ekor/m2. Pendederan dilakukan pada pagi hari. Sebelum ditebar kegiatan yang dilakukan di kolam pendederan yaitu, pengeringan kolam, pengapuran dan pemupukan. Setelah benih berumur 30 hari benih berukuran 5 – 8 cm dan benih siap dipanen. Pemanenan dilakukan pagi hari, SR yang didapat pada ssaat pemanenan yaitu 76 %.
5.2. Saran
           Setelah melakukan kegiatan Tugas Akhir di BBIS Anjungan penulisan memiliki saran-saran sebagai berikut :
1.    Dalam pengelolaan induk, khususnya komoditas patin sebaiknya kolam induk jantan dan induk betina dipisah, agar tidak terjadi penurunan kualitas pada induk. Untuk mempercepat kematangan gonad, seebaiknya 2 kali seminggu patin perlu diberi ikan rucah atau ikan-ikan yang tidak layak konsumsi.
2.   
72
Sebaiknya di dalam kolam induk tidak  ada ikan-ikan liar atau ikan jenis lain, agar tidak terjadi persaingan makanan. Untuk meningkatkan kelangsungan hidup benih ikan patin, selama pemeliharaan di kolam pendederan pamasangan saringan di pintu pemasukan air sebaiknya terus terpasang agar hama pengganggu tidak masuk ke dalam kolam.

































73
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar